Cerita Cinta Suami Istri yang Mengharukan
16.42 |

Pada hari pernikahanku, aku menggendong istriku. Mobil pengantin
berhenti di depan apartment kami. Teman-teman memaksaku menggendong
istriku keluar dari mobil. Lalu aku menggendongnya ke rumah kami. Dia
tersipu malu-malu. Saat itu, aku adalah seorang pengantin pria yang kuat
dan bahagia.
Ini adalah kejadian 10 tahun yang lalu.
Hari-hari
berikutnya berjalan biasa. Kami memiliki seorang anak, aku bekerja
sebagai pengusaha dan berusaha menghasilkan uang lebih. Ketika aset-aset
perusahaan meningkat, kasih sayang diantara aku dan istriku seperti
mulai menurun.
Istriku seorang pegawai pemerintah. Setiap pagi kami pergi bersama dan
pulang hampir di waktu yang bersamaan. Anak kami bersekolah di sekolah
asrama. Kehidupan pernikahan kami terlihat sangat bahagia, namun
kehidupan yang tenang sepertinya lebih mudah terpengaruh oleh
perubahan-perubahan yang tak terduga.
Lalu Jane datang ke dalam kehidupanku.
Hari itu hari yang cerah. Aku berdiri di balkon yang luas. Jane
memelukku dari belakang. Sekali lagi hatiku seperti terbenam di dalam
cintanya. Apartment ini aku belikan untuknya. Lalu Jane berkata, “Kau
adalah laki-laki yang pandai memikat wanita.” Kata-katanya tiba-tiba
mengingatkan ku pada istriku. Ketika kami baru menikah, istriku berkata
“Laki-laki sepertimu, ketika sukses nanti, akan memikat banyak wanita.”
Memikirkan hal ini, aku menjadi ragu-ragu. Aku tahu, aku telah
mengkhianati istriku.
Aku menyampingkan tangan Jane dan berkata, “Kamu perlu memilih beberapa
furnitur, ok? Ada yang perlu aku lakukan di perusahaan.” Dia terlihat
tidak senang, karena aku telah berjanji akan menemaninya melihat-lihat
furnitur. Sesaat, pikiran untuk bercerai menjadi semakin jelas walaupun
sebelumnya tampak mustahil. Bagaimanapun juga, akan sulit untuk
mengatakannya pada istriku. Tidak peduli selembut apapun aku
mengatakannya, dia akan sangat terluka. Sejujurnya, dia adalah seorang
istri yang baik. Setiap malam, dia selalu sibuk menyiapkan makan malam.
Aku duduk di depan televisi. Makan malam akan segera tersedia. Kemudian
kami menonton TV bersama. Hal ini sebelumnya merupakan hiburan bagiku.
Suatu hari aku bertanya pada istriku dengan bercanda, “Kalau misalnya
kita bercerai, apa yang akan kamu lakukan?” Dia menatapku beberapa saat
tanpa berkata apapun. Kelihatannya dia seorang yang percaya bahwa
perceraian tidak akan datang padanya. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana reaksinya ketika nanti dia tahu bahwa aku serius tentang ini.
Ketika istriku datang ke kantorku, Jane langsung pegi keluar. Hampir
semua pegawai melihat istriku dengan pandangan simpatik dan mencoba
menyembunyikan apa yang sedang terjadi ketika berbicara dengannya.
Istriku seperti mendapat sedikit petunjuk. Dia tersenyum dengan lembut
kepada bawahan-bawahanku. Tapi aku melihat ada perasaan luka di matanya.
Sekali lagi, Jane berkata padaku, “Sayang, ceraikan dia, ok? Lalu kita
akan hidup bersama.” Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak bisa ragu-ragu
lagi.
Ketika aku pulang malam itu, istriku sedang menyiapkan makan malam. Aku
menggemgam tangannya dan berkata, “Ada yang ingin aku bicarakan.” Dia
kemudian duduk dan makan dalam diam. Lagi, aku melihat perasaan luka
dari matanya.
Tiba-tiba aku tidak bisa membuka mulutku. Tapi aku harus tetap
mengatakan ini pada istriku. Aku ingin bercerai. Aku memulai pembicaraan
dengan tenang.
Dia seperti tidak terganggu dengan kata-kataku, sebaliknya malah bertanya dengan lembut, “Kenapa?”
Aku menghindari pertanyaannya. Hal ini membuatnya marah. Dia melempar
sumpit dan berteriak padaku, “Kamu bukan seorang pria!” Malam itu, kami
tidak saling bicara. Dia menangis. Aku tahu, dia ingin mencari tahu apa
yang sedang terjadi di dalam pernikahan kami. Tapi aku sulit
memberikannya jawaban yang memuaskan, bahwa hatiku telah memilih Jane.
Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya mengasihaninya!
Dengan perasaan bersalah, aku membuat perjanjian perceraian yang
menyatakan bahwa istriku bisa memiliki rumah kami, mobil kami dan 30%
aset perusahaanku.
Dia melirik surat itu dan kemudian merobek-robeknya. Wanita yang telah
menghabiskan 10 tahun hidupnya denganku telah menjadi seorang yang asing
bagiku. Aku menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu, daya dan
tenaganya tapi aku tidak bisa menarik kembali apa yang telah aku katakan
karena aku sangat mencintai Jane. Akhirnya istriku menangis dengan
keras di depanku, yang telah aku perkirakan sebelumnya. Bagiku,
tangisannya adalah semacam pelepasan. Pikiran tentang perceraian yang
telah memenuhi diriku selama beberapa minggu belakangan, sekarang
menjadi tampak tegas dan jelas.
Hari berikutnya, aku pulang terlambat dan melihat istriku menulis
sesuatu di meja makan. Aku tidak makan malam, tapi langsung tidur dan
tertidur dengan cepat karena telah seharian bersama Jane.
Ketika aku terbangun, istriku masih disana, menulis. Aku tidak mempedulikannya dan langsung kembali tidur.
Paginya, dia menyerahkan syarat perceraiannya: Dia tidak menginginkan
apapun dariku, hanya menginginkan perhatian selama sebulan sebelum
perceraian. Dia meminta dalam 1 bulan itu kami berdua harus berusaha
hidup sebiasa mungkin. Alasannya sederhana : Anak kami sedang menghadapi
ujian dalam sebulan itu, dan dia tidak mau mengacaukan anak kami dengan
perceraian kami.
Aku setuju saja dengan permintaannya. Namun dia meminta satu lagi, dia
memintaku untuk meingat bagaimana menggendongnya ketika aku membawanya
ke kamar pengantin, di hari pernikahan kami.
Dia memintanya selama 1 bulan setiap hari, aku menggendongnya keluar
dari kamar kami, ke pintu depan setiap pagi. Aku pikir dia gila. Aku
menerima permintaannya yang aneh karena hanya ingin membuat hari-hari
terakhir kebersamaan kami lebih mudah diterima olehnya.
Aku memberi tahu Jane tentang syarat perceraian dari istriku. Dia
tertawa keras dan berpikir bahwa hal itu berlebihan. “Trik apapun yang
dia gunakan, dia harus tetap menghadapi perceraian!”, kata Jane, dengan
nada menghina.
Istriku dan aku sudah lama tidak melakukan kontak fisik sejak keinginan
untuk bercerai mulai terpikirkan olehku. Jadi, ketika aku menggendongnya
di hari pertama, kami berdua tampak canggung. Anak kami tepuk tangan di
belakang kami. Katanya, “Papa menggendong mama!” Kata-katanya membuat
ku merasa terluka. Dari kamar ke ruang tamu, lalu ke pintu depan, aku
berjalan sejauh 10 meter, dengan dirinya dipelukanku. Dia menutup mata
dan berbisik padaku, “Jangan bilang anak kita mengenai perceraian ini.”
Aku mengangguk, merasa sedih. Aku menurunkannya di depan pintu. Dia
pergi untuk menunggu bus untuk bekerja. Aku sendiri naik mobil ke
kantor.
Hari kedua, kami berdua lebih mudah bertindak. Dia bersandar di dadaku.
Aku bisa mencium wangi dari pakaiannya. Aku tersadar, sudah lama aku
tidak sungguh-sungguh memperhatikan wanita ini. Aku sadar dia sudah
tidak muda lagi, ada garis halus di wajahnya, rambutnya memutih.
Pernikahan kami telah membuatnya susah. Sesaat aku terheran, apa yang
telah aku lakukan padanya.
Hari keempat, ketika aku menggendongnya, aku merasa rasa kedekatan
seperti kembali lagi. Wanita ini adalah seorang yang telah memberikan 10
tahun kehidupannya padaku.
Hari kelima dan keenam, aku sadar rasa kedekatan kami semakin bertumbuh.
Aku tidak mengatakan ini pada Jane. Seiring berjalannya waktu semakin
mudah menggendongnya. Mungkin karena aku rajin berolahraga membuatku
semakin kuat.
Satu pagi, istriku sedang memilih pakaian yang dia ingin kenakan. Dia
mencoba beberpa pakaian tapi tidak menemukan yang pas. Kemudian dia
menghela nafas, “Pakaianku semua jadi besar.” Tiba-tiba aku tersadar
bahwa dia telah menjadi sangat kurus. Ini lah alasan aku bisa
menggendongnya dengan mudah.
Tiba-tiba aku terpukul. Dia telah memendam rasa sakit dan kepahitan yang
luar biasa di hatinya. Tanpa sadar aku menyentuh kepalanya.
Anak kami datang saat itu dan berkata, “Pa, sudah waktunya menggendong
mama keluar.” Bagi anak kami, melihat ayahnya menggendong ibunya keluar
telah menjadi arti penting dalam hidupnya. Istriku melambai pada anakku
untuk mendekat dan memeluknya erat. Aku mengalihkan wajahku karena takut
aku akan berubah pikiran pada saat terakhir. Kemudian aku menggendong
istriku, jalan dari kamar, ke ruang tamu, ke pintu depan. Tangannya
melingkar di leherku dengan lembut. Aku menggendongnya dengan erat,
seperti ketika hari pernikahan kami.
Tapi berat badannya yang ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir,
ketika aku menggendongnya, sulit sekali bagiku untuk bergerak. Anak kami
telah pergi ke sekolah. Aku menggendongnya dengan erat dan berkata,
“Aku tidak memperhatikan kalau selama ini kita kurang kedekatan.”
Aku pergi ke kantor, keluar cepat dari mobil tanpa mengunci pintunya.
Aku takut, penundaan apapun akan mengubah pikiranku. Aku jalan keatas,
Jane membuka pintu dan aku berkata padanya, “Maaf, Jane, aku tidak mau
perceraian.”
Dia menatapku, dengan heran menyentuh keningku. “Kamu demam?”, tanyanya.
Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku. “Maaf, Jane, aku bilang, aku
tidak akan bercerai.” Kehidupan pernikahanku selama ini membosankan
mungkin karena aku dan istriku tidak menilai segala detail kehidupan
kami, bukan karena kami tidak saling mencintai. Sekarang aku sadar,
sejak aku menggendongnya ke rumahku di hari pernikahan kami, aku harus
terus menggendongnya sampai maut memisahkan kami.
Jane seperti tiba-tiba tersadar. Dia menamparku keras kemudian
membanting pintu dan lari sambil menangis. Aku turun dan pergi keluar.
Di toko bunga, ketika aku berkendara pulang, aku memesan satu buket
bunga untuk istriku. Penjual menanyakan padaku apa yang ingin aku tulis
di kartunya. Aku tersenyum dan menulis, aku akan menggendongmu setiap
pagi sampai maut memisahkan kita.
Sore itu, aku sampai rumah, dengan bunga di tanganku, senyum di wajahku,
aku berlari ke kamar atas, hanya untuk menemukan istriku terbaring di
tempat tidur – meninggal. Istriku telah melawan kanker selama
berbulan-bulan dan aku terlalu sibuk dengan Jane sampai tidak
memperhatikannya. Dia tahu dia akan segera meninggal, dan dia ingin
menyelamatku dari reaksi negatif apapun dari anak kami, seandainya kami
jadi bercerai. — Setidaknya, di mata anak kami — aku adalah suami yang
penyayang.
Hal-hal kecil di dalam kehidupanmu adalah yang paling penting dalam
suatu hubungan. Bukan rumah besar, mobil, properti atau uang di bank.
Semua ini menunjang kebahagian tapi tidak bisa memberikan kebahagian itu
sendiri. Jadi, carilah waktu untuk menjadi teman bagi pasanganmu, dan
lakukan hal-hal yang kecil bersama-sama untuk membangun kedekatan itu.
Miliki pernikahan yang sungguh-sungguh dan bahagia.