Anak dari Perzinahan, Bagaimana Islam Mengaturnya?
06.11 |
|
SEKARANG ini agaknya lumrah sekali anak lahir di luar nikah di
sekeliling kita. Tapi bagaimana sebenarnya Islam mengatur sang anak yang
tak berdosa itu? Di lingkungan kita sering kali disebut “anak haram”.
Padahal sebutan anak haram itu tentu saja bukan si anak-nya yang haram,
tapi kurang lebih hasil dari perbuatan haram.
Islam hanya mengakui hubungan darah (nasab) seseorang melalui jalinan
perkawinan yang sah. Ini bisa dipahami langsung dari salah satu tujuan
pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan. Artinya, ketika sesorang
telah melangsungkan akad nikah, kemudian mereka bercampur (melakukan
hubungan suami isteri) dan memperoleh keturunan, maka anak yang
dilahirkan tersebut adalah sah dan dinasabkan kepada si ayah.
Namun sebaliknya, jika keturunan yang diperoleh di luar ikatan
perkawinan, baik dilakukan dengan suka rela (perzinahan) atau paksaan
(perkosa), maka dalam hal ini, anak yang dilahirkan dinasabkan pada si
ibu yang melahirkannya, bukan pada si ayah. Walaupun secara biologis
diketahui bahwa anak tersebut terlahir dari benih sang ayah.
Kondisi ini juga berlaku pada kasus hamil di luar nikah. Mayoritas ulama
sepakat bahwa anak yang dilahirkan dari hasil hubungan di luar nikah
tidak boleh dinasabkan pada ayahnya. Karena perbuatan tersebut
tergolong zinah. Ini berdasarkan pada hadis Rasulullah SAW : “Status
(kewalian) anak adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang
melahirkan. Dan bagi pelaku zina (dihukum) batu,” (Muttafaq ‘alaih).
Dengan demikian, pernikahan yang didahului zinah dan dan hamil sebelum
dilangsungkan aqad nikah maka anak yang terlahir dinasabkan pada ibu.
Sebagai konsekwensi, si ayah tidak berhak menjadi wali nikah,
mewariskan, dan hukum lainnya yang berkaitan dengan nasab.
Adapun soal apakah si ibu harus memberitahukan pada si anak siapa ayah
sebenarnya, itu tidak wajib. Jadi tidak berdosa menyembunyikan
identitas ayahnya. Karena secara hukum, tidak ada lagi hak si ayah pada
anak yang dihasilkan dari perzinahannya. Hanya saja, untuk
memberitahukan bahwa sang ayah sudah mati, kalau itu tidak benar dan
hanya sebagai luapan kebencian semata maka ini tidak boleh. Sebab
termasuk pada perbuatan dusta yang justru akan menyulut permusuhan
lebih dalam.
Cukup saja mengatakan kondisi apa adanya jika anak itu telah dewasa atau
telah memungkinkan untuk menerima kenyataan. Karena kita diharuskan
senantiasa berbuat adil kepada siapapun, sampai pada orang yang kita
benci sekalipun. Dan, kejujuran itu merupakan wujud dari adil yang harus
kita tampilkan. Allah SWT berfirman : “Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil,” (QS.Al-maidah :8).
Di sini, juga perlu diingat bahwa tidak ada istilah anak haram. Karena
Islam tidak mengakui adanya dosa warisan. Setiap anak terlahir dalam
keadaan fitrah (suci). Kalaupun ia ditakdirkan lahir dari hasil zina
kedua orang tuanya, namun dosa zina bukan pada si anak tapi pada kedua
orang tuanya. Allah SWT berfirman : “Dan seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain,” (QS.az-Zumar: 7). Oleh karenanya, orang tua
harus bertaubat nasuha. Sebab zina adalah satu dosa besar yang sangat
dimurkai oleh Allah SWT. []