Wanita Dipaksa Orangtua Menikah Tanpa Cinta, Laki-Laki Ini Bersabar Tak Sentuh Istrinya Bag. 2
11.52 |
Dadaku kembali berdetak kencang kala mendapatinya. Aku masih belum
percaya kalau aku telah bersuami. Tapi ada sebuah pertanyaaan terbetik
dalam benakku. Mengapa dia tidak tidur di ranjang bersamaku. Kalaupun
dia belum ingin menyentuhku, paling gak dia tidur seranjang denganku
itukan logikanya. Ada apa ini? ujarku perlahan dalam hati. Aku sendiri
merasa bahwa mungkin malam itu Kak Arfan kecapekan sama sepertiku
sehingga dia tidak mendatangiku dan menunaikan kewajibannya sebagai
seorang suami. Tapi apa peduliku dengan itu semua, toh akupun tidak
menginginkannya, gumamku dalam hati.
Hari-hari terus berlalu. Kami pun mejalani aktifitas kami masing-masing,
Kak Arfan bekerja mencari rezeki dengan pekerjaannya. Sedangkan aku di
rumah berusaha semaksimal mungkin untuk memahami bahwa aku telah
bersuami dan memiliki kewajiban melayani suamiku. Yah minimal
menyediakan makanannya, meskipun kenangan-kenangan bersama Boby belum
hilang dari benakku, aku bahkan masih merindukannya.
Semula kufikir bahwa prilaku Kak Arfan yang tidak pernah menyentuhku dan
menunaikan kewajibannya sebagai suami itu hanya terjadi malam
pernikahan kami. Tapi ternyata yang terjadi hampir setiap malam sejak
malam pengantin itu, Kak Arfan selalu tidur beralaskan permadani di
bawah ranjang atau tidur di atas sofa dalam kamar kami. Dia tidak pernah
menyentuhku walau hanya menjabat tanganku. Jujur segala kebutuhanku
selalu dipenuhinya. Secara lahir dia selalu menafkahiku, bahkan nafkah
lahir yang dia berikan lebih dari apa yang aku butuhan. Tapi soal
biologis, Kak Arfan tak pernah sama sekali mengungkit- ungkitnya atau
menuntutnya dariku. Bahkan yang tidak pernah kufahami, pernah secara
tidak sengaja kami bertabrakan di depan pintu kamar, Kak Arfan meminta
maaf seolah merasa bersalah karena telah menyentuhku.
Ada apa dengan Kak Arfan? Apakah dia lelaki normal? Kenapa dia begitu
dingin padaku? Apakah aku kurang di matanya? atau? Pendengar, jujur
merasakan semua itu, membuat banyak pertanyaan berkecamuk dalam benakku.
Ada apa dengan suamiku? Bukankah dia adalah pria yang beragama dan tahu
bahwa menafkahi istri itu secara lahir dan batin adalah kewajibannya?
Ada apa dengannya? padahal setiap hari dia mengisi acara-acara keagamaan
di mesjid. Dia begitu santun pada orang-orang dan begitu patuh kepada
kedua orangtuanya. Bahkan terhadap aku pun hampir semua kewajibannya
telah dia tunaikan dengan hikmah, tidak pernah sekali pun dia bersikap
kasar dan berkata-kata keras padaku. Bahkan Kak Arfan terlalu lembut
bagiku.
Tapi satu yang belum dia tunaikan yaitu nafkah batinku. Aku sendiri saat
mendapat perlakuan darinya setiap hari yang begitu lembutnya mulai
menumbuhkan rasa cintaku padanya dan membuatku perlahan-lahan melupakan
masa laluku bersama Boby. Aku bahkan mulai merindukannya tatkala dia
sedang tidak di rumah. Aku bahkan selalu berusaha menyenangkan hatinya
dengan melakukan apa-apa yang dia anjurkannya lewat ceramah-ceramahnya
pada wanita-wanita muslimah, yakni mulai memakai busana muslimah yang
syar’i.
Memang dua hari setelah pernikahan kami, Kak Arfan memberiku hadiah yang
diisi dalam karton besar. Semula aku mengira bahwa hadiah itu adalah
alat-alat rumah tangga. Tapi setelah kubuka, ternyata isinya lima potong
jubah panjang berwarna gelap, lima buah jilbab panjang sampai selutut
juga berwana gelap, lima buah kaos kaki tebal panjang berwarna hitam dan
lima pasang manset berwarna gelap pula. Jujur saat membukanya aku
sedikit tersinggung, sebab yang ada dalam bayanganku bahwa inilah
konsekuensi menikah dengan seorang ustadz. Aku mengira bahwa dia akan
memaksa aku untuk menggunakannya. Ternyata dugaanku salah sama sekali.
Sebab hadiah itu tidak pernah disentuhnya atau ditanyakannya.
Kini aku mulai menggunakannya tanpa paksaan siapapun. Kukenakan busana
itu agar diatahu bahwa aku mulai menganggapnya istimewa. Bahkan
kebiasaannya sebelum tidur dalam mengajipun sudah mulai aku ikuti.
Kadang ceramah-ceramahnya di mesjid sering aku ikuti dan aku praktekkan
di rumah.
Tapi satu yang belum bisa aku mengerti darinya. Entah mengapa hingga
enam bulan pernikahan kami dia tidak pernah menyentuhku. Setiap masuk
kamar pasti sebelum tidur, dia selalu mengawali dengan mengaji, lalu
tidur di atas hamparan permadani di bawah ranjang hingga terjaga lagi di
sepertiga malam, lalu melaksanakan sholat Tahajud. Hingga suatu saat
Kak Arfan jatuh sakit. Tubuhnya demam dan panasnya sangat tinggi. Aku
sendiri bingung bagaimana cara menanganinya. Sebab Kak Arfan sendiri
tidak pernah menyentuhku. Aku khawatir dia akan menolakku bila aku
menawarkan jasa membantunya. Ya Allah..apa yang harus aku lakukan saat
ini. Aku ingin sekali meringankan sakitnya, tapi apa yang harus saya
lakukan ya Allah..
Malam itu aku tidur dalam kegelisahan. Aku tak bisa tidur mendengar
hembusan nafasnya yang seolah sesak. Kudengar Kak Arfan pun sering
mengigau kecil. Mungkin karena suhu panasnya yang tinggi sehingga ia
selalu mengigau. Sementara malam begitu dingin, hujan sangat deras
disetai angin yang bertiup kencang. Kasihan Kak Arfan, pasti dia sangat
kedinginan saat ini. Perlahan aku bangun dari pembaringan dan menatapnya
yang sedang tertidur pulas. Kupasangkan selimutnya yang sudah menjulur
kekakinya. Ingin sekali aku merebahkan diriku di sampingnya atau sekedar
mengompresnya. Tapi aku tak tahu bagaimana harus memulainya. Hingga
akhirnya aku tak kuasa menahan keinginan hatiku untuk mendekatkan
tanganku di dahinya untuk meraba suhu panas tubuhnya.
Tapi baru beberapa detik tanganku menyentuh kulit dahinya, Kak Arfan
terbangun dan langsung duduk agak menjauh dariku sambil berujar ”Afwan
dek, kau belum tidur? Kenapa ada di bawah? Nanti kau kedinginan? Ayo
naik lagi ke ranjangmu dan tidur lagi, nanti besok kau capek dan jatuh
sakit?” pinta kak Arfan padaku. Hatiku miris saat mendengar semua itu.
Dadaku sesak, mengapa Kak Arfan selalu dingin padaku. Apakah dia
menganggap aku orang lain. Apakah di hatinya tak ada cinta sama sekali
untukku. Tanpa kusadari air mataku menetes sambil menahan isak yang
ingin sekali kulapkan dengan teriakan. Hingga akhirnya gemuruh di hatiku
tak bisa kubendung juga.
”Afwan kak, kenapa sikapmu selama ini padaku begitu dingin? Kau bahkan
tak pernah mau menyentuhku walaupun hanya sekedar menjabat tanganku?
Bukankah aku ini istrimu? Bukankah aku telah halal buatmu? Lalu mengapa
kau jadikan aku sebagai patung perhiasan kamarmu? Apa artinya diriku
bagimu kak? Apa artinya aku bagimu kak? Kalau kau tidak mencintaiku
lantas mengapa kau menikahiku? Mengapa kak? mengapa?” Ujarku disela isak
tangis yang tak bisa kutahan.
Tak ada reaksi apapun dari Kak Arfan menanggapi galaunya hatiku dalam tangis yang tersedu
itu. Yang nampak adalah dia memperbaiki posisi duduknya dan melirik jam
yang menempel di dinding kamar kami. Hingga akhirnya dia mendekatiku dan
perlahan berujar padaku:
”Dek, jangan kau pernah bertanya pada kakak tentang perasaan ini padamu.
Karena sesungguhnya kakak begitu sangat mencintaimu. Tetapi tanyakanlah
semua itu pada dirimu sendiri. Apakah saat ini telah ada cinta di
hatimu untuk kakak? Kakak tahu dan kakak yakin pasti suatu saat kau akan
bertanya mengapa sikap kakak selama ini begitu dingin padamu.
Sebelumnya kakak minta maaf bila semuanya baru kakak kabarkan padamu
malam ini. Kau mau tanyakan apa maksud kakak sebenarnya dengan semua
ini?” ujar Kak Arfan dengan agak sedikit gugup.
“Iya tolong jelaskan pada saya Kak, mengapa kakak begitu tega melakukan
ini padaku? tolong jelaskan Kak?” Ujarku menimpali tuturnya kak Arfan.
“Hhhhhmmm, Dek kau tahu apa itu pelacur? Dan apa pekerjaan seorang
pelacur? Afwan dek dalam pemahaman kakak, seorang pelacur itu adalah
seorang wanita penghibur yang kerjanya melayani para lelaki hidung
belang untuk mendapatkan materi tanpa peduli apakah di hatinya ada cinta
untuk lelaki itu atau tidak. Bahkan seorang pelacur terkadang harus
meneteskan air mata mana kala dia harus melayani nafsu lelaki yang tidak
dicintainya. Bahkan dia sendiri tidak merasakan kesenangan dari apa
yang sedang terjadi saat itu. kakak tidak ingin hal itu terjadi padamu
dek.
Kau istriku dek, betapa bejatnya kakak ketika kakak harus memaksamu
melayani kakak dengan paksaan saat malam pertama pernikahan kita.
Sedangkan di hatimu tak ada cinta sama sekali buat kaka. Alangkah
berdosanya kakak, bila pada saat melampiaskan birahi kakak padamu malam
itu, sementara yang ada dalam benakmu bukanlah kakak tetapi ada lelaki
lain. Kau tahu dek, sehari sebelum pernikahan kita digelar, kakak sempat
datang ke rumahmu untuk memenuhi undangan Bapakmu. Tapi begitu kakak
berada di depan pintu pagar rumahmu, kakak melihat dengan mata kepala
kakak sendiri kesedihanmu yang kau lampiaskan pada kekasihmu Boby. Kau
ungkapkan pada Boby bahwa kau tidak mencintai kakak. Kau ungkapkan pada
Boby bahwa kau hanya akan mencintainya selamanya. Saat itu kakak merasa
bahwa kakak telah merampas kebahagiaanmu.
Kakak yakin bahwa kau menerima pinangan kakak itu karena terpaksa. Kakak
juga mempelajari sikapmu saat di pelaminan. Begitu sedihnya hatimu saat
bersanding di pelaminan bersama kakak. Lantas haruskah kakak egois
dengan mengabaikan apa yang kau rasakan saat itu. Sementara tanpa
memperdulikan perasaanmu, kakak menunaikan kewajiban kakak sebagai
suamimu di malam pertama. Semenatara kau sendiri akan mematung dengan
deraian air mata karena terpaksa melayani kakak?
Kau istriku dek, sekali lagi kau istriku. Kau tahu, kakak sangat
mencintaimu. Kakak akan menunaikan semua itu manakala di hatimu telah
ada cinta untuk kakak. Agar kau tidak merasa diperkosa hak-hakmu. Agar
kau bisa menikmati apa yang kita lakukan bersama. Alhamdulillah apabila
hari ini kau telah mencintai kakak. Kakak juga merasa bersyukur bila kau
telah melupakan mantan kekasihmu itu. Beberapa hari ini kakak
perhatikan kau juga telah menggunakan busana muslimah yang syar’i. Pinta
kakak padamu dek, luruskan niatmu, kalau kemarin kau mengenakan busana
itu untuk menyenangkan hati kakak semata. Maka sekarang luruskan niatmu,
niatkan semua itu untuk Allah ta’ala selanjutnya untuk kakak.”
Mendengar semua itu, aku memeluk suamiku. Aku merasa bahwa dia adalah
lelaki terbaik yang pernah kujumpai selama hidupku. Aku bahkan telah
melupakan Boby. Aku merasa bahwa malam itu, aku adalah wanita yang
paling bahagia di dunia. Sebab meskipun dalam keadaan sakit, untuk
pertama kalinya Kak Arfan mendatangiku sebagai seorang suami. Hari-hari
kami lalui dengan bahagia. Kak Arfan begitu sangat kharismatik.
Terkadang dia seperti seorang kakak buatku dan terkadang seperti orang
tua. Darinya aku banyak belajar banyak hal. Perlahan aku mulai
meluruskan niatku dengan menggunakan busana yang syar’i, semata-mata
karena Allah dan untuk menyenangkan hati suamiku.
Sebulan setelah malam itu, dalam rahimku telah tumbuh benih-benih cinta
kami berdua. Alhamdulillah, aku sangat bahagia bersuamikan dia. Darinya
aku belajar banyak tentang agama. Hari demi hari kami lalui dengan
kebahagiaan. Ternyata dia mencintaiku lebih dari apa yang aku bayangkan.
Dulu aku hampir saja melakukan tindakan bodoh dengan menolak
pinangannya. Aku fikir kebahagiaan itu akan berlangsung lama diantara
kami, setelah lahir Abdurrahman, hasil cinta kami berdua.
Di akhir tahun 2008, Kak Arfan mengalami kecelakaan dan usianya tidak
panjang. Sebab Kak Arfan meninggal dunia sehari setelah kecelakaan
tersebut. Aku sangat kehilangannya. Aku seperti kehilangan penopang
hidupku. Aku kehilangan kekasihku. Aku kehilangan murobbiku, aku
kehilangan suamiku. Tidak pernah terbayangkan olehku bahwa kebahagiaan
bersamanya begitu singkat. Yang tidak pernah aku lupakan di akhir
kehidupannya Kak Arfan, dia masih sempat menasehatkan sesuatu padaku:
“Dek.. pertemuan dan perpisahan itu adalah fitrahnya kehidupan. Kalau ternyata kita berpisah besok atau lusa, kakak minta padamu Dek.., jaga Abdurrahman dengan baik. Jadikan dia sebagai mujahid yang senantiasa membela agama, senantiasa menjadi yang terbaik untuk ummat. Didik dia dengan baik Dek, jangan sia-siakan dia.
Satu permintaan kakak.., kalau suatu saat ada seorang pria yang datang
melamarmu, maka pilihlah pria yang tidak hanya mencintaimu. Tetapi juga
mau menerima kehadiran anak kita.
Maafkan kakak Dek.., bila selama bersamamu, ada kekurangan yang telah
kakak perbuat untukmu. Senantiasalah berdoa.., kalau kita berpisah di
dunia ini..Insya Allah kita akan berjumpa kembali di akhirat kelak .
Kalau Allah mentakdirkan kakak yang pergi lebih dahulu meninggalkanmu,
Insya Allah kakak akan senantiasa menantimu..”
Demikianlah pesan terakhir Kak Arfan sebelum keesokan harinya Kak Arfan
meninggalkan dunia ini. Hatiku sangat sedih saat itu. Aku merasa sangat
kehilangan. Tetapi aku berusaha mewujudkan harapan terakhirnya, mendidik
dan menjaga Abdurrahman dengan baik. Selamat jalan Kak Arfan. Aku akan
selalu mengenangmu dalam setiap doa-doaku, amiin. Wasallam”
NB : Kisah Nyata dari Akhwat di Gorontalo, Sulawesi Utara
sumber : akhwatmuslimah.com